Kisah penjahit sepatu yang bertahan di tengah pandemi

  • Share
Jumadin, salah satu penjahit sepatu yang tetap bertahan di tengah pendemi/Wonuanews-Mirwanto Muda
Jumadin, salah satu penjahit sepatu yang tetap bertahan di tengah pendemi/Wonuanews-Mirwanto Muda

Jumadin, salah satu penjahit sepatu yang masih eksis menekuni profesinya di tengah pandemi Covid-19 meski pendapatannya tidak sebanyak sebelum pandemi.

Mirwanto Muda, Kolaka

Tak seperti hari-hari sebelumnya situasi di salah satu sudut pasar Raya Mekongga Kota Kolaka Sulawesi Tenggara pada Selasa pagi (24/11/2020) agak ramai.

Ratusan pedagang ramai menjajakan dagangannya baik di pinggiran jalan masuk pasar maupun diruko-ruko yang tersedia dalam kompleks pasar itu.

“Iya sudah mulai ramai pak,” sapa Jumadin kepada penulis saat menghampiri lapak tempatnya mangkal menunggu pelanggan.

Juma, panggilan akrab dari salah penjahit sepatu yang saat ini masih eksis menekuni pekerjaannya ditengah pandemi yang melanda saat ini.

“Susah cari kerjaan lain, apalagi musim corona, jadi tetap menjahit sepatu saja, kalau rejeki tidak akan kemana pak,” papar Jumadi sambil mengerjakan salah satu sepatu milik pelanggannya.

Di masa pandemi, Juma konsisten mengikuti protokol kesehatan dengan tetap menggunakan masker saat jemarinya asik membenamkan jarum khusus pada sol sepatu dengan rangkaian benang untuk membenahi sepatu kulit milik pelanggannya.

“Kalau tidak pake masker biasa ditegur sama pelanggan dan ada pol PP yang sering datang, dan memang dari dulu kita pake masker, sebelum Corona pun pake masker karena kita jahit sepatu biasa bau dan ada debunya, jadi harus pake masker” jelasnya.

Penghasilnnya dari menjahit sepatu, kata warga Kelurahan Tahoa Kecamatan Kolaka itu sudah bisa membiayai hidup keluarganya. Hanya saja di tengah pandemi saat ini, penghasilnya jauh berkurang dari masa sebelum pandemi.

“Kalau sebelum Corona biasanya 300 ribu perhari saya dapat, tapi sejak corona sekarang sudah sepi pelanggan, paling tinggi hanya dapat sampai 150 ribu perhari,” ungkapnya.

Para pelajar dan mahasiswa adalah pelanggan yang paling banyak menghampiri lapaknya sebelum pandemi Covid-19.

“Kalau dulu banyak mahasiswa dan anak sekolah yang sepatunya sering rusak, sekarang sudah tidak ada lagi, tidak ada sekolah kan, jadi kurang pendapatan karena biasanya sepatu anak sekolah dan mahasiswa yang banyak rusak,” terang pria yang sudah melakoni pekerjaan sebagai penjahit sepatu sekitar 12 tahun itu.

Dia juga mengisahkan pada awal-awal pandemi dirinya kehilangan penghasilan karena pasar yang sepi dan masyarakat tidak berani keluar rumah.

“Hampir dua bulan tidak menjahit waktu awal-awalnya corona, karena pasar sepi, orang tidak ada yang leuar rumah, untungya ada pra kerja yang bisa tambah-tambah penghasilan dan bantuan sembako dari pemerintah dan dari orang-orang yang kasih sumbangan,” jelasnya.

Menjadi penjahit sepatu kata Juma memang bukan pilihan hidupnya, namun menurut dia pekerjaannya itu sudah bisa menghidupi keluarganya selama belasan tahun ini.

“Kita mau kerja apa lagi dulu pernah coba merantau tapi kembali lagi karena jauh dari keluarga, makanya tetap menjahit, banyak teman-teman sudah tidak menjahit lagi karena Corona, tapi bagi saya kalau rejeki tidak akan kemana pak,” ungkapnya.

Meski di tengah pandemi Covid-19, Juma tetap optimis bisa mendapatkan pelanggan untuk bisa bertahan hidup.

“Sekarang sudah mulai ramai pasar, ada saja yang datang pak jahit sepatunya, walaupun tidak sebanyak sebelum Corona, bisanya sendal dari ibu-ibu atau bapak-bapak,” paparnya.

Juma berharap pandemi Covid-19 segera berakhir agar pelanggannya kembali seperti sebelumnya.

“Semoga cepat berakhir, anak sekolah bisa sekolah lagi, mahasiswa bisa kuliah lagi, dan kita bisa dapat penhasilan lagi yang banyak,” harapnya.

>
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *