Kolaka, – Benteng tanah atau Bende Wuta dalam bahasa Tolaki Mekongga rupanya pernah menjadi sebuah benteng yang kokoh dalam melindungi penduduk dan wilayah kerajaan Mekongga di jamannya. Berikut rangkuman laporan peninjauan dari Tim Balai Arkelogi Makassar yang pernah meneliti keberadaan benteng itu pada Mei 2008 dan peta situsnya.
Dalam laporan itu menyebut puing-puing Bende Wuta masih terlihat jelas di desa Bende, sebuah desa yang terletak Kecamatan Wundulako Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara.
Disebutkan bende wuta didirikan pada abad XVII atau sekitar tahun 1620. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan Mekongga adalah Bokeo Teporambe bergelar Sangia Nilulo.
Dimasa pemerintahannya konon banyak sekali orang-orang dari luar yang ingin masuk di daerah Mekongga, terutama suku Tobelo dan Wolio. Mereka sering meyerang dan memasuki daerah Mekongga melalui pantai Posilui dan Puuroda untuk merampok harta benda bahkan diceritakan sempat menculik putri Mekongga bernama Wasitau.
Dalam mengatasi dan menghadapi perlawanan musuh, Bokeo Teporambe menunjuk adiknya Latoranga yang bergelar Sangia Nibende sebagai panglima perang kerajaan Mekongga untuk mengusir atau memerangi para perampok tersebut.
Latoranga kemudian memerintahkan para pasukan atau disebut Tamalaki dan dibantu oleh rakyat Mekongga untuk membangun sebuah benteng pertahanan yang dibangun dari tanah liat yang uasnya kurang lebih 2 Ha.
Dengan adanya benteng tersebut sebagai basis pertahanan maka dengan keberaniannya Latoranga berhasil menghalau dan memukul mundur para perampok Tobelo.
Bekas benteng tanah tersebut kini masih terlihat di desa Bende. Nama desa yang digunakananya saat ini merupakan sebuah toponim penting dan dapat memberi petunjuk akan adanya bangunan benteng tanah yang pada zamannya turut memberi andil dalam proses pertahanan dan keamanan kerajaan Mekongga.
Dalam laporan tersebut juga digambarkan peta situs benteng tersebut. Di peta itu menunjukkan bahwa bentuk benteng yaitu bujur sangkar dengan ukuran masing-masing sisinya yaitu sisi utara panjangnya 149,1 m, sisi timurnya panjangnya 133,1 m, sisi selatannya 138,5 m dan untuk sisi barat panjangnya 138 m.
Dan dari hasil pengukuran setiap sisi luar dan dalam benteng diperoleh ukuran lebar dinding benteng rata-rata 5 sampai 7 meter. Dan dari ke empat sisinya diperkirakan tingginya bisa mencapai 3 sampai 5 meter. Namun kini ukuran tinggi dari gundukan tanah yang tersisa tinggal 50 sampai 80 cm saja. Tentunya ukuran ini dapat saja berbeda dengan ukuran dinding sesungguhnya pada masa lalu.
Pada keempat sisi benteng terdapat bagian yang terpisah dari rangkaian gundukan tanah yang digambarkan sebagai jalan keluar masuk (pintu).
Untuk bagian dalam benteng digambarkan tanah datar. Di bagian tengahnya terdapat diyakini oleh masyarakat sebagai bekas istana raja dan di tempat itu pula terdapat dua batu yang menyerupai nisan. Hingga kini tempat tersebut sangat disakralkan oleh masyarakat.
Dari laporan itu, sebuah banguan benteng yang terbuat dari tanah liat pernah berdiri kokoh dan menjadi pertahanan kerajaan Mekongga di masa lampau.
Dibangun di lokasi berhadapan gerbang laut masuk kerajaan Mekongga menunjukan arsiteknya seorang yang ahli dan memiliki strategi perang.
Selain benteng, cerita-cerita tentang kedigjayaan sang Raja Sangia Ni Bende masih melegenda di sekitar wilayah itu. Konon di jaman itu ada kerbau peliharaan Sangia yang sangat terkenal.
Peliharaan kerbau sangia itu istimewa, karena selain mempunyai tanduk di bagian kepala juga mempunyai tanduk di bagian bokongnya sehingga diberi nama Karambau Petanu Mbopole. Kerbau tersebut sangat ditakuti oleh musuh-musuh yang datang menyerang.
Kekuatan gaib sang raja saat mengusir para musuh bajak laut yang datang menyerang juga masih menjadi cerita turun temurun. Konon dengan kekuatan gaibnya sang raja bisa mengubah beras ketan hitam menjadi tawon penyengat yang menyerang para musuhnya, sehingga musuh lari tunggang langgang dan bercerai berai yang mudah ditumpas.
Keberadaan benteng tanah itu merupakan sebuah warisan yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu mendapat perhatian. Bukti arkeologis dari keberadaannya dan berbagai cerita atau legenda di Situs Bende perlu ditelaah mendalam lagi agar dapat tersaji sebuah fakta sejarah yang bernilai tinggi.