Menggiring Demokrasi Antara “Hati Nurani Versus Transaksional”

  • Share

KOLAKA,WN—Pelaksanaan Pilpres dan Pilcaleg telah usai dilaksanakan pada 14 Februari 2024 lalu. Namun hasil dari pada pesta demokrasi khusunya Pilcaleg yang baru saja usai dilaksanakan, ada hal yang cukup menggelitik dan menjadi perbincangan dimasyarakat antara “Hati Nurani Versus Transaksional” Salah satu Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia (LMR-RI) Komisariat Sultra yang menyoal permasalahan “Hati Nurani Versus Transaksional” terjadi dalam pelaksanaan pesta demokrasi khususnya Pilcaleg.

Ketua Komisariat LMR RI Sultra Haning Abdullah memberikan komentar terkait permasalahan tersebut, bahwa persoalan “Hari Nurani Versus Transaksional” dalam pesta demokrasi tahun 2024 khususnya pada Pilcaleg, menurut Haning bahwa hal ini telah menyisahkan berbagai permasalahan kontraversial antara pihak-pihak yang berkepentingan, entah itu Caleg yang menang ataupun Caleg yang tidak berhasil lolos memperoleh kursi di DPRD.

Meski demikian menurut Haning bukan persoalan kalah atau menang, namun yang menjadi fokus dan perhatian dalam menata masa Demokrasi di Republik ini yang terkesan berada pada persimpangan jalan “hati nurani versus transaksional” yang jelas kalau ini terus berlangsung disetiap Pemilu khususnya Pilcaleg akan menebar virus sampai pada Pilkada yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Persoalan ini bukan hanya terjadi pada Pilcaleg maupun Pilkada tetapi masalah penyakit transaksional ini juga menjalar sampai pada Pilkades.

“Persoalan ini menjadi penyakit disetiap pengambilan keputusan dan kebijakan dimana transaksional akan mendominasi segala bentuk sistim dan mekanisme sehingga kebenaran terus terbawa arus pembenaran dalam aliran kepentingan dimana hati nurani tidak berdaya menghadapi derasnya gelombang transaksional, dan tanpa disadari kepentingan rakyat itu sendiri telah menggadaikan dirinya dengan persoalan financial recehan,”ungkap Haning.

Menurut Haning bahwa persoalan transaksional ini bukan lagi rahasia umum tetapi ini terjadi disemua tempat secara nasional, “Jadi kalau untuk mencapai keberhasilan menduduki kursi legislatif yang disebut anggota dewan terhormat, maka popularitas dan nurani tidak berdaya diperhadapkan dengan berankas transaksional dan ini terbukti dengan hasil perolehan suara para caleg, ini sungguh ironis bila kita berharap kualitas legislatif dinegeri. “Ini juga sangat membuka ruang dan peluang terjadinya dinasti Politik, lalu siapakah yang harus bertanggung jawab karena rakyat sendiri yang menghendaki seperti itu yang menilai hak suaranya dibarter dengan materi walaupun tidak semuanya namun realita umumnya terjadi semakin besar nilai transaksionalnya semakin tinggi juga perolehan suaranya, kualitas bukan lagi jadi pertimbangan utama, dimana visi dan misi caleg dinilai dengan kepentingan gisi recehan, lalu mau kemana arah Demokrasi Negara ini dimasa mendatang kalau tidak ada perubahan dari era ke era, dari Pemilu ke Pemilu terus terjadi ibarat penyakit semakin kronis,”ujar Haning.

Menurut Haning mungkin bukan lagi saatnya kita terus berdebat dan berteori dengan pembenaran masing-masing, tapi diperlukan kedepan ada reformasi sistim pelaksanaan dan pengawasan ternasuk perekrutan Caleg ditingkat Partai tidak hanya mengedepankan kemampuan finansial tapi yang lebih penting kualitas standar disiplin ilmu, moral dan akhlaq lebih harus jadi pertimbangan utama dan perioritas oleh Partai Politik agar Demokrasi kita tidak tenggelam dalan lumpur transaksional dimasa akan datang dan benar-benar kembali pada prinsif dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

“Yang menjadi pemikiran kita semua kedepan agar Demokrasi kita tidak semakin tenggelam dalam lumpur transaksional, tetapi bagaimana kita memikirkan dengan mengedepankan hati nurani, dan ini adalah tantangan bagi setiap partai agar masyarakat dalam memilih lebih mengedepankan nurani bukan dengan transaksional,”pungkasnya.(pus)

>
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *