KOLAKA, WN — Komisariat Wilayah (Komwil) Lembaga Masyarakat Rakyat Indonesia (LMR RI) Sulawesi Tenggara, melalui Ketua Komwilnya, Haning Abdullah, mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana di sektor pertambangan dengan dilengkapi perbaikan regulasi dan peraturan yang terkait.
Haning menjelaskan bahwa hadirnya kasus pidana pertambangan di Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara, menyebabkan sejumlah pejabat di Kementerian ESDM RI, termasuk petinggi perusahaan BUMN Antam Sultra dan beberapa direktur perusahaan swasta yang bergerak di sektor pertambangan, menjadi tersangka dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
“Kami berharap pihak Kejaksaan Tinggi Sultra dapat mengungkap seluruh pihak yang terlibat dalam tindak pidana pertambangan yang telah merugikan negara dalam jumlah triliunan rupiah. Sebagai mitra pemerintah, kami memberikan apresiasi atas upaya Kejati dalam mengungkap kasus pidana pertambangan ini,” ujar Haning.
Haning melanjutkan, berdasarkan fakta lapangan, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang mengubah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, terjadi perubahan signifikan. Menurut Haning, Pasal 35(1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 mengatur bahwa kegiatan pertambangan hanya boleh dilakukan setelah memperoleh izin dari pemerintah pusat. Sejak Januari 2021, semua kewenangan terkait masalah pertambangan telah dialihkan ke pemerintah pusat di bawah Kementerian ESDM. Namun, menurut Haning, hasil kajian LMR RI di lapangan menunjukkan adanya kekacauan, seperti praktik pertambangan ilegal dan penyusunan dokumen palsu terkait penjualan bijih nikel. Meskipun dokumen tersebut mengklaim memiliki legalitas Rencana Kerja Anggaran Berkala (RKAB), namun kenyataannya bijih tersebut berasal dari penambangan tanpa izin atau ilegal. Praktik semacam ini berkembang subur di Sultra dan menguntungkan pihak-pihak tertentu, tetapi berdampak fatal pada negara dan rakyat.
Haning mengungkapkan bahwa hasil investigasi LMR RI Sultra menunjukkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk mendapatkan pengesahan RKAB ketika masih di bawah kewenangan pemerintah daerah sangatlah signifikan. Namun, ketika kewenangan beralih ke pemerintah pusat, prosesnya menjadi lebih rumit dan kompleks. Ini memberikan celah bagi “mafia dengan peran mediator” di lingkungan Kementerian ESDM.
“Menurut hasil investigasi LMR RI, kami meyakini bahwa praktik semacam inilah yang mendorong oknum-oknum di Kementerian ESDM terjerat dalam kasus tindak pidana korupsi di sektor pertambangan, terutama dalam wilayah IUP Antam yang seharusnya dipegang oleh perusahaan BUMN,” tambahnya.
Selanjutnya, Haning menyatakan bahwa pihaknya, tanpa memiliki kepentingan tersembunyi, mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi atau merevisi Pasal 35(1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Tujuannya adalah agar kewenangan pelaksanaan di sektor pertambangan dapat dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (Dinas SDEM), tetapi dengan tetap terkoordinasi dan termonitor oleh pemerintah pusat melalui sistem aplikasi satu jalur terpadu.
LMR RI berpendapat bahwa perusahaan besar memiliki indikasi mendapatkan dokumen palsu, sehingga RKAB mereka bisa disahkan pada awal tahun. Hal ini karena mereka mampu mengikuti alur permainan yang dijalankan oleh oknum-oknum “mafia.” Namun, bagi perusahaan kecil, terutama BUMD, sangat sulit untuk mengikuti praktik semacam itu. (pus)